KEDIRI – Aksi demonstrasi di Kediri yang berujung ricuh dan anarkis kembali menjadi sorotan. Perusakan fasilitas umum, pembakaran, hingga kekacauan di sejumlah titik membuat masyarakat geram. Banyak yang menilai aksi tersebut sudah tidak layak lagi disebut sebagai “demo”, melainkan tindakan kriminal yang merugikan warga.
Namun di tengah hujatan terhadap aksi anarkis, muncul narasi tandingan yang tak kalah nyaring di media sosial. Sejumlah warganet mempertanyakan, “Bukankah pejabat juga korup?” atau “Kalau pemerintah bersih, rakyat tidak akan marah.”
🔥 Dua kubu pun terbentuk:
Penolak anarkisme, yang menilai kekerasan massa hanya memperburuk keadaan dan merugikan rakyat kecil.
Pembela aksi, yang menganggap anarkisme sebagai konsekuensi dari ketidakadilan dan korupsi pejabat.
Meski begitu, pakar menilai kedua isu ini tidak bisa disamakan. Anarkisme tetaplah salah karena merusak fasilitas umum yang dibangun dari pajak rakyat, sementara korupsi pejabat juga salah karena menggerogoti keuangan negara dan melemahkan kepercayaan publik.
Sayangnya, perdebatan yang bercampur ini justru membuat diskusi publik menjadi kabur. Alih-alih mencari solusi, masyarakat sibuk berdebat tentang siapa yang lebih salah.
💡 Posisi tengah yang sehat:
Menolak segala bentuk anarkisme sekaligus tetap menuntut pemerintah untuk serius memberantas korupsi. Sebab membiarkan anarkisme sama berbahayanya dengan membiarkan korupsi—keduanya bisa merusak sendi kehidupan bangsa.
Kini, pertanyaan besar pun muncul: apakah anarkisme harus dianggap sebagai “harga yang harus dibayar” akibat korupsi pejabat, atau justru keduanya harus dilawan bersamaan?