DIPAKSA SEHAT DI NEGARA YANG SAKIT


Indonesia - Kita hidup di negeri yang katanya subur makmur, katanya kaya raya, katanya penuh senyum dan gotong royong. Tapi hari ini, apa yang kita lihat? Kita seakan dipaksa untuk tetap sehat, tetap kuat, tetap tersenyum, padahal negara yang kita pijak sedang sakit parah. Luka di tubuh bangsa ini menganga di mana-mana, tapi kita diminta menutup mata, seolah semua baik-baik saja.

Di sudut-sudut kota, api membakar gedung-gedung. Hampir setiap daerah kini bergejolak. Orang-orang yang dulu hanya sibuk bekerja untuk makan sehari-hari, kini turun ke jalan dengan amarah yang tak bisa lagi terbendung. Mereka teriak bukan karena benci tanah air, tapi karena kecewa—karena negeri ini tak lagi memberi ruang bagi mereka untuk hidup layak.

Namun, apa yang dilakukan para pemimpin? Mereka bersembunyi di balik tembok istana, nyaman dengan kursi empuk, rapat di ruangan berpendingin, sibuk mengatur kata-kata manis di layar televisi. Tidak ada yang mau benar-benar turun ke lapangan, menatap mata rakyat yang membara oleh kecewa. Mereka lebih takut kehilangan citra daripada meredam api amarah yang kian meluas.

Ironisnya, kita, rakyat kecil, selalu dipaksa sehat. Disuruh kuat menghadapi segala kesulitan, disuruh sabar menghadapi krisis, disuruh percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi bagaimana kita bisa sehat, jika negara ini sendiri sedang sakit? Bagaimana bisa kita sembuh, kalau luka di tanah air ini dibiarkan bernanah tanpa diobati?

Sementara itu, berita-berita penuh dengan narasi palsu, meninabobokan rakyat yang masih percaya. Katanya stabil, katanya aman, katanya terkendali. Padahal kita tahu, di jalanan nyata, bau asap dan suara teriakan jadi saksi bahwa negeri ini sedang berada di ambang roboh.

Kita dipaksa sehat, padahal perut lapar. Kita dipaksa sehat, padahal pekerjaan makin hilang. Kita dipaksa sehat, padahal keadilan makin jauh. Sehat untuk siapa? Sehat untuk terus jadi budak dalam negara yang tak peduli pada luka rakyatnya?

Inilah keluh kesah kami, suara kecil dari mereka yang sudah lelah berharap. Kalau pemimpin tak mau turun tangan, kalau bangsa ini terus pura-pura sehat, maka jangan salahkan bila rakyat memilih jalannya sendiri. Karena pada akhirnya, negara bukan hanya gedung tinggi atau kursi empuk kekuasaan—negara adalah rakyat itu sendiri. Dan ketika rakyat merasa dikhianati, amarahnya bisa lebih besar dari api yang kini melahap gedung-gedung.
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال